berdiri sejak tahun 2012 tepatnya 12-12-2012 (grand opening). banyak dibeli kalangan atas / artis karena barang disini harga remaja dan tidak ketinggalan jaman. kita menjual : T-shirt, jacket, sweater, kemeja, chino, snapback, topi, celana, sepatu, dan lain-lain. barang bagus belum tentu mahal, pengen punya barang bagus? beli aja disini pakaian kalangan atas harga kalangan sederhana ;) | 082112164702 / 27C8CA27
Cari Blog Ini
Jumat, 20 Juni 2014
cara pandang orang sukses
10 Perbedaan Cara Pandang Wirausahawan (Si Pintar dan Si Bodoh)
Dalam berwirausaha ada cara pandang (persfektif) berbisnis yang berbeda bagi setiap pelaku usaha atau entrepreneur, yang dibagi antara si pintar dan si bodoh. Perbedaan itu meliputi 10 hal berikut :
1. Keberanian dalam memulai bisnis
Orang bodoh biasanya lebih berani dibanding orang pintar, kenapa? Karena biasanya orang bodoh sering tidak berpikir panjang atau banyak pertimbangan, dia nothing to lose.
Orang pintar biasanya terlalu banyak pertimbangan dalam memulai bisnis.
2. Ide
Orang pintar biasanya banyak ide, dan mungkin terlalu banyak ide di kepalanya, sehingga tidak satupun yang menjadi kenyataan.
Orang bodoh, mungkin hanya satu ide dan biasanya ide itu yang menjadi pilihan usahanya.
3. Menganalisa
Orang pintar sangat pandai menganalisa. Dengan satu ide bisnis, dianalisa dengan sangat lengkap, mulai dari modal, berapa untung dan ruginya sampai break event point nya.
Orang bodoh biasanya tidak terlalu memperdulikan analisa, sehingga lebih cepat memulai usaha.
4. Mudah menyerah
Orang pintar merasa gengsi ketika gagal di satu bidang, sehingga langsung beralih ke bidang lain ketika menghadapi hambatan.
Orang bodoh tidak punya pilihan lain kecuali menghadapi hambatan itu hingga tuntas.
5. Kerja keras dan kerja cerdas
Banyak orang bodoh yang hanya mengandalkan semangat dan kerja keras plus sedikit kerja cerdas, yang menjadikannya sukses dalam berbisnis.
Disisi lain banyak orang pintar malas untuk kerja keras dan sok cerdas.
6. Berani bermimpi besar
Orang pintar punya mimpi besar jika secara logika bisa dicapai.
Orang bodoh tidak peduli dengan logika, yang terpenting dia bermimpi sesuatu yang besar itu bisa, walaupun tidak mungkin dicapai oleh orang lain.
7. Konsumen
Biasanya orang pintar terlalu pede dengan kehebatannya. Dia merasa semuanya sudah benar, berkat kepandaiannya, sehingga mengabaikan suara konsumen.
Orang bodoh tahu bahwa konsumen sering lebih pintar darinya.
8. Ingin cepat sukses
Biasanya orang pintar merasa mampu melakukan beberapa hal dengan kepandaiannya termasuk mendapatkan hasil dengan cepat.
Orang bodoh merasa bahwa dia harus melalui jalan panjang dan berliku sebelum mendapatkan hasil.
9. Berpikir negatif sebelum memulai
Orang pintar sangat mungkin berpikir negatif tentang sebuah bisnis, karena informasi yang dikumpulkan sangat banyak.
Orang bodoh tidak sempat berpikir negatif karena segera berbisnis.
10. Miskin pengetahuan pemasaran dan penjualan
Biasanya orang pintar menganggap sudah mengetahui tentang banyak hal, tapi sering melupakan penjualan.
Orang bodoh berpikir simple, yang penting produk terjual.
10 hal di atas memang tidak secara mutlak menjadi suatu acuan baku perbedaan sudut pandang antara si "pintar" dan si "bodoh" tapi paling tidak bisa membuka dan menambah wawasan kita dalam melakukan suatu usaha.
Dan ada satu hal lagi, pintar atau bodoh juga bukan dilihat dari "tingkat pendidikan" seseorang tapi dari bagaimana seseorang itu bisa menyikapi dan menghadapi suatu permasalahan atau tantangan hingga bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa.
cara pandang seseorang!
Advancing
your perspective
Untuk mengubah cara pandang kita sebagai manusia yang waras
kita harus MEMANDANG SEKELILINGMU tapi sebelum kita jauh ke tema ini kita bca ke
kejadian 13:14-17 yang mempunyai inti “pandanglah
sekelilingmu dan lihatlah tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat,
utara dan selatan,” inti dari ayat alkitab itu kita harus memandang sekeliling
kita dulu.
Perspektif / cara pandang dalam kamus besar bahasa indonesia
(KBBI) :
Sebuah sikap atau cara melihat sesuatu keadaan/ yang sedang
terjadi.
*perbesarlah cara pandangmu*
‘ when railty bites, it’s time to advance your perspective’
Semua cara pandang kita menentukan
I.
SIKAP
II.
KEPUTUSAN
III.
TINDAKAN
Akhirnya cara pandang kita menentukan hasil yang kita
peroleh dalam menghadapi suatu keadaan. Cara pandang manusia berkembang adalah
·
Melihat dengan cara pandang Tuhan
·
Melihat rencana Tuhan yang sempurna
·
Melihat janji
Tuhan yang abadi
Jadi setiap sikap, keputusan dan tindakan kita itu
ditentukan dengan cara pandang, sebelum selesai saya akan menutup dengan contoh
Di
suatu sekolah ada 1 geng dengan 3 orang, sebenarnya itu bukan geng melainkan
persahabatan. Namun persahabatan itu rusak atau 1 orang tidak bersahabat lagi.
Di geng itu ada 3 orang yang bernama Tessa, Firman dan Goti.
Waktu
hari jumat Tessa dan Goti membuat Pr bareng karena Firman tidak bisa tessa dan
goti hanya kerjakaan pr berdua, saat Kerjain PR berdua Firman menelpon goti
Firman : “Got, Lo udah kerjain PR belum?”
Goti : “ini lagi kerjain sama Tessa”
Firman : “kok gue gak diajak?!”
Goti : “kan lu ada acara!?”
Firman :
“kagak, gue langsung balik kok !”
Goti : “yah
gue mana tau, gue gak punya pulsa”
Firman :
“alah alasan lu gede kayak badan lu!”
Goti :
“yaudah ini badan gue ga usah ngatur ngatur!”
Firman : “alah
gara gara lu asik orangnya gue gak bisa sama tessa, muka tampan padahal gue!”
Goti : “apaan
sih ! tessa tuh Sahabat gue, kayak lu sama gue. Kan semua orang tau kita ber3
sahabat!!”
Firman :
“gak, lu munafik! Mulai saat ini gue gak mau sahabat sama lu, lu Cuma nikung
doang!”
Goti : “oh
yauudah yang penting gue gak pacaran sama tessa Cuma tessa aja yang mau ama
gue!”
Firman :
“alah Alasan ga bermutu!”
KESIMPULAN:
jadi seperti cerita yang di atas kalau cara pandang kita berbeda sikap,
tindakan dan keputusan pun salah. Jadi ubahlah cara pandang kita demi anak cucu
kita..
“CARA
PANDANG POSITIF PASTI LURUS JALANNYA, CARA PANDANG NEGATIF PASTI BERBELOK-BELOK
JALANNYA” – DokterJo
Selasa, 17 Juni 2014
Dapatkah karakter seseorang dapat di ubah?
Pertanyaan ini sering mucul ketika orang menemui kegagalan.Pertanyaan semacam ini di ungkapkan sebagai pelampiasanrasa jengkel lantaran usaha dan upaya yang dilakukan akhirnya kandass. banyak orang akhirnya sampai pada keyakinan bahwa karakter sesorang sudah di bentuk dari 'sono'nya, alias 'given'. dari keyakinan tersebut kemudian orang berpandang bahwa karakter tidak bisa diubah, dan akhirnya pasrah pada keadaan.
APA ITU KARAKTER?
seringkali kita binggung dengan berbagai sebutan terkait dengan ciri khas dalam kehidupan seseorang yang membedakannya dengan yang lain. ada yang menyebut hal itu dengan istilah temperamen, watak, kepribadian, maupun karakter.
Temperamen pada umumnya merupakan bentuk kepribadian yang erat hubugannya dengan determinan nioogis atau fisiologis. hipokrates dalam teorinya mengelompokan orang dalam empat temperamen dasar yaitu sanguine, melankolik, kolerik, dan plegmatis.
sedangkan watak lebih menunjkan karakter seseorang yang terbentuk dalam proses yang lama dan pada umunya itu tidak berubah. karakter beda lagi. ia merupakan suatu kualitas atau sifat yang akan terus berjalan seperti itu, sebab itulah ciri khas yang merupakan identitas seseorang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI, karakter memiliki arti :
1.sifat - sifat kejiawaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.
2.karakter juga bisa bermakna "huruf". karakter (character) diambil dari bahasa yunani (χαρακτήρας - charaktí̱ras)
pada awalnya kata karakter digunakan untuk mengambarkan gambar yang dicetak atau diukir pada batu prasasti, pada permukaan besi/metal dan pada uang koin.
Alkita menulis dalam ibrani 1:3, "ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan GAMBAR wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firmanya yang penuh kekuasaan. dan setelah ia selesai mengadakan pennyucian dosa, ia duduk di seblah kanan yang mahabesar, ditempat yang tinggi"
KJV : who being the brightness of his glory, and the express IMAGE of this person, and up holding all things by the word of his power, when he had by him self purgged our sins, sat down on the right hand on the majesty on high.
Proses terbentuknya karakter
KARAKTER seseorang terbentuk karena KEBIASAAN yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. karakter ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang menempel 'embedded' pada seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak menyadari karakter seseorang.
KEBIASAAN seseorang terbentuk dari TINDAKAN yang dilakukan berulang-ulang setiap hari. tindakan-tindakan tersebut pada awalnya disadari atau disengaja, tetapi karena begitu sering tindakan yang sama dilakukan, maka pada akhirnya sering kali si sebut KEBIASAAN tersebut menjadi refleks yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. sebagai contoh : gaya berjalan. "gesture" (gerakan tubuh)
pada saat berbicara di depan umum atau gaya bahasa.
orang melakukan tindakan karena dia meninginkan untuk melakukan tindakan tersebut. dari keinginan yang terus menerus akhirnya apa yang diingikan tersebut dilakukan. timbulnya jeinginan pada seseorang didorong oleh pemikiran atas suatu hal. ada banyak hal yang bisa memicu pikiran yang inormasinya datang dari panca inderanya. misalnya, karena melihat sesuatu, maka orang berpikir, karena mendengar sesuatu maka berpikir dan seterusnya.
Dari proses yang disampaikan dia atas, maka bisa dirignkas sebagai :
PIKIRAN->KEINGINAN->PERBUATAN
->KEBIASAAN->KARAKTER
APA ITU KARAKTER?
seringkali kita binggung dengan berbagai sebutan terkait dengan ciri khas dalam kehidupan seseorang yang membedakannya dengan yang lain. ada yang menyebut hal itu dengan istilah temperamen, watak, kepribadian, maupun karakter.
Temperamen pada umumnya merupakan bentuk kepribadian yang erat hubugannya dengan determinan nioogis atau fisiologis. hipokrates dalam teorinya mengelompokan orang dalam empat temperamen dasar yaitu sanguine, melankolik, kolerik, dan plegmatis.
sedangkan watak lebih menunjkan karakter seseorang yang terbentuk dalam proses yang lama dan pada umunya itu tidak berubah. karakter beda lagi. ia merupakan suatu kualitas atau sifat yang akan terus berjalan seperti itu, sebab itulah ciri khas yang merupakan identitas seseorang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI, karakter memiliki arti :
1.sifat - sifat kejiawaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.
2.karakter juga bisa bermakna "huruf". karakter (character) diambil dari bahasa yunani (χαρακτήρας - charaktí̱ras)
pada awalnya kata karakter digunakan untuk mengambarkan gambar yang dicetak atau diukir pada batu prasasti, pada permukaan besi/metal dan pada uang koin.
Alkita menulis dalam ibrani 1:3, "ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan GAMBAR wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firmanya yang penuh kekuasaan. dan setelah ia selesai mengadakan pennyucian dosa, ia duduk di seblah kanan yang mahabesar, ditempat yang tinggi"
KJV : who being the brightness of his glory, and the express IMAGE of this person, and up holding all things by the word of his power, when he had by him self purgged our sins, sat down on the right hand on the majesty on high.
Proses terbentuknya karakter
KARAKTER seseorang terbentuk karena KEBIASAAN yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. karakter ini pada akhirnya menjadi sesuatu yang menempel 'embedded' pada seseorang dan sering orang yang bersangkutan tidak menyadari karakter seseorang.
KEBIASAAN seseorang terbentuk dari TINDAKAN yang dilakukan berulang-ulang setiap hari. tindakan-tindakan tersebut pada awalnya disadari atau disengaja, tetapi karena begitu sering tindakan yang sama dilakukan, maka pada akhirnya sering kali si sebut KEBIASAAN tersebut menjadi refleks yang tidak disadari oleh orang yang bersangkutan. sebagai contoh : gaya berjalan. "gesture" (gerakan tubuh)
pada saat berbicara di depan umum atau gaya bahasa.
orang melakukan tindakan karena dia meninginkan untuk melakukan tindakan tersebut. dari keinginan yang terus menerus akhirnya apa yang diingikan tersebut dilakukan. timbulnya jeinginan pada seseorang didorong oleh pemikiran atas suatu hal. ada banyak hal yang bisa memicu pikiran yang inormasinya datang dari panca inderanya. misalnya, karena melihat sesuatu, maka orang berpikir, karena mendengar sesuatu maka berpikir dan seterusnya.
Dari proses yang disampaikan dia atas, maka bisa dirignkas sebagai :
PIKIRAN->KEINGINAN->PERBUATAN
->KEBIASAAN->KARAKTER
Apa Itu Karakter?
Bulan Ini Galax akan memuat topik " karakter "
Dasar antropologis setiap pemikiran tentang pendidikan karakter adalah keberadaan manusia sebagai penghayat nilai.
Keberadaan seperti ini menggambarkan struktur dasar manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan, namun sekaligus sadar akan keterbatasannya. Dinamika struktur manusia yang seperti inilah yang memungkinkan pendidikan karakter menjadi sebuah pedagogi. Dengannya manusia menghayati transendensi dirinya dengan cara membaktikan diri pada nilai-nilai yang diyakininya sebagai berharga bagi dirinya sendiri serta bagi komunitas di mana individu tersebut berada.
Setiap kali kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan adalah tentang usaha-usaha manusiawi dalam mengatasi keterbatasan dirinya melalui praksis nilai yang yang dihayatinya. Usaha ini tampil dalam setiap perilaku dan keputusan yang diambilnya secara bebas. Keputusan ini pada gilirannya semakin mengukuhkan identitas dirinya sebagai manusia.
Karakter
Istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti misalnya dalam sidik jari. Dalam tradisi Yahudi, misalnya, para tetua melihat alam, seperti, laut, sebagai sebuah karakter, yaitu sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia, mrucut seperti menangkap asap. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti, ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Mereka memahami karakter seperti lautan, tidak terselami, tak dapat diintervensi. Karena itu, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya. Manusia tidak dapat memberikan bentuk atasnya. Sama seperti bumi, manusia tidak dapat membentuknya sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu yang ‘mrucut’ tadi. Namun sekaligus, bumi itu sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain.
Tentang ambiguitas terminologi ‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).
Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki. Melalui dua hal ini kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sononya tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai karakter.
Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari sononya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi. Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sononya. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi yang dari sononya itu, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Ekspresi umum orang seperti ini adalah, “karakter saya memang demikian. Mau apa lagi?” “Saya menjadi demikian ini sudah dari sono-nya. Inilah takdir dan keberuntungan hidup saya”. Semua ini seolah ada di luar kendali dirinya. Karena itu tidak ada gunanya lagi mencoba mengatasinya. Sebab jika sesuatu itu telah ditentukan dari sononya, manusia ini hanya semacam wayang yang tergantung dari gerakan tangan sang dalang. Kalau saatnya masuk kotak ya kita tinggal masuk kotak saja. Saat tampil, ya kita tampil. Fatalisme seperti ini sangat kontraproduktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan determinasi, antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah.
Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu bergerak maju mengarah ke masa depan. Aku bukanlah sekumpulan masa laluku. Aku adalah sebuah gerak menuju masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diriku sebagai manusia yang lebih besar. Aku adalah apa yang dapat aku kerjakan, aku lakukan, yang membuatku menjadi seperti yang aku ingini. Aku mengatasi apa yang ada dalam diriku saat ini. Aku adalah apa yang masih bisa aku harapkan daripada sekedar hal-hal yang telah aku peroleh selama ini. Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang sekarang ini ia miliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.
Dasar antropologis setiap pemikiran tentang pendidikan karakter adalah keberadaan manusia sebagai penghayat nilai.
Keberadaan seperti ini menggambarkan struktur dasar manusia sebagai mahluk yang memiliki kebebasan, namun sekaligus sadar akan keterbatasannya. Dinamika struktur manusia yang seperti inilah yang memungkinkan pendidikan karakter menjadi sebuah pedagogi. Dengannya manusia menghayati transendensi dirinya dengan cara membaktikan diri pada nilai-nilai yang diyakininya sebagai berharga bagi dirinya sendiri serta bagi komunitas di mana individu tersebut berada.
Setiap kali kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan adalah tentang usaha-usaha manusiawi dalam mengatasi keterbatasan dirinya melalui praksis nilai yang yang dihayatinya. Usaha ini tampil dalam setiap perilaku dan keputusan yang diambilnya secara bebas. Keputusan ini pada gilirannya semakin mengukuhkan identitas dirinya sebagai manusia.
Karakter
Istilah karakter sendiri sesungguhnya menimbulkan ambiguitas. Karakter, secara etimologis berasal dari bahasa Yunani “karasso”, berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, ‘sidik’ seperti misalnya dalam sidik jari. Dalam tradisi Yahudi, misalnya, para tetua melihat alam, seperti, laut, sebagai sebuah karakter, yaitu sebagai sesuatu yang bebas, tidak dapat dikuasai manusia, mrucut seperti menangkap asap. Karakter adalah sesuatu yang tidak dapat dikuasai oleh intervensi manusiawi, seperti, ganasnya laut dengan gelombang pasang dan angin yang menyertainya. Mereka memahami karakter seperti lautan, tidak terselami, tak dapat diintervensi. Karena itu, berhadapan dengan apa yang memiliki karakter, manusia tidak dapat ikut campur tangan atasnya. Manusia tidak dapat memberikan bentuk atasnya. Sama seperti bumi, manusia tidak dapat membentuknya sebab bumi memiliki karakter berupa sesuatu yang ‘mrucut’ tadi. Namun sekaligus, bumi itu sendirilah yang memberikan karakter pada realitas lain.
Tentang ambiguitas terminologi ‘karakter’ ini, Mounier, mengajukan dua cara interpretasi. Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).
Karakter sebagai suatu kondisi yang diterima tanpa kebebasan dan karakter yang diterima sebagai kemampuan seseorang untuk secara bebas mengatasi keterbatasan kondisinya ini membuat kita tidak serta merta jatuh dalam fatalisme akibat determinasi alam, ataupun terlalu tinggi optimisme seolah kodrat alamiah kita tidak menentukan pelaksanaan kebebasan yang kita miliki. Melalui dua hal ini kita diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi-potensi, serta kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan kita. Untuk itulah, model tipologi yang lebih menekankan penerimaan kondisi natural yang dari sononya tidak cocok. Cara-cara ini hanya salah satu cara dalam memandang dan menilai karakter.
Karena itu, tentang karakter seseorang kita hanya bisa menilai apakah seorang itu memiliki karakter kuat atau lemah. Apakah ia lebih terdominasi pada kondisi-kondisi yang telah ada dari sononya atau ia menjadi tuan atas kondisi natural yang telah ia terima. Apakah yang given itu lebih kuat daripada yang willed tadi. Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan realitas yang telah ada begitu saja dari sononya. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter dengan demikian seperti seorang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, ia menguasainya, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya.
Orang yang terlalu dikuasai oleh situasi kondisi yang dari sononya itu, dalam tingkatan yang paling ekstrem bisa jatuh dalam fatalisme. Ekspresi umum orang seperti ini adalah, “karakter saya memang demikian. Mau apa lagi?” “Saya menjadi demikian ini sudah dari sono-nya. Inilah takdir dan keberuntungan hidup saya”. Semua ini seolah ada di luar kendali dirinya. Karena itu tidak ada gunanya lagi mencoba mengatasinya. Sebab jika sesuatu itu telah ditentukan dari sononya, manusia ini hanya semacam wayang yang tergantung dari gerakan tangan sang dalang. Kalau saatnya masuk kotak ya kita tinggal masuk kotak saja. Saat tampil, ya kita tampil. Fatalisme seperti ini sangat kontraproduktif dengan cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan terstruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga mampu lebih gesit dan lincah dalam menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam dalam dirinya.
Manusia memiliki struktur antropologis yang terbuka ketika berhadapan dengan fenomena kontradiktif yang ditemukan dalam dirinya, yaitu, antara kebebasan dan determinasi, antara karakter yang stabil dengan ekspresi periferikal atasnya yang sifatnya lebih dinamis dan mudah berubah.
Dengan gambaran manusia seperti ini, Mounier menegaskan bahwa individu itu selalu bergerak maju mengarah ke masa depan. Aku bukanlah sekumpulan masa laluku. Aku adalah sebuah gerak menuju masa depan, yang senantiasa berubah menuju kepenuhan diriku sebagai manusia yang lebih besar. Aku adalah apa yang dapat aku kerjakan, aku lakukan, yang membuatku menjadi seperti yang aku ingini. Aku mengatasi apa yang ada dalam diriku saat ini. Aku adalah apa yang masih bisa aku harapkan daripada sekedar hal-hal yang telah aku peroleh selama ini. Jadi, manusia memiliki kemampuan untuk berharap dan bermimpi, sebab harapan dan impian ini merupakan semacam daya dorong yang membuatnya mampu secara optimis menatap masa depan dengan mempertimbangkan daya-daya aktualnya yang sekarang ini ia miliki.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, tempat di mana manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur antropologis ini melihat bahwa karakter bukan sekedar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara simultan merupakan hasil dan proses. Dinamika ini menjadi semacam dialektika terus menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya. Karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus menerus.
Langganan:
Postingan (Atom)